Tuesday, July 24, 2007

Feminitas VS Maskulinitas(who's the winner...??)

Membaca diskusi teman-teman tentang feminitas, membuat akoe sebagai salah seorang feminis (ceile..) ingin turut menyumbang sedikit uneg-uneg.
Akoe jadi teringat pada perbincangan kecil dengan salah seorang cowok kenalan baru saat perjalanan di Bus malam dari Bali. Entah bagaiman awal mulanya perbincangan kami kemudian merembet pada masalah gender. Saat itu akoe ingin sekali tertawa, (ups…. tapi berhubung untuk menjaga perasaannya) Sebab apa, dia mengatakan bahwa jika nanti memiliki seorang istri, dia tidak ingin istrinya nanti ikut bekerja dan mencari nafkah, poko’e harus tinggal di rumah aja. Saat akoe tanya mengapa dia memiliki prinsip demikian, hanya jawaban simple yang akoe dapatkan, yaitu supaya seorang istri tidak mentang-mentang ke suami.
Heran akoe…. Kenapa masih ada saja prinsip kolot kaya’ gitu pada sebagian pria….ck…ck…ck….
Apakah sedemikian tinggi ego seorang pria u/ menerima kenyataan bahwa perempuan juga ingin mendapatkan penyetaraan penghargaan di masyarakat, ingin mendapatkan porsi yang sama besar dalam kehidupan baik di masyarakat,maupun di dalam keluarga.
Dari jawaban singkat itu pula akoe merasakan ketakutan seorang pria jika nanti dalam biduk rumah tangga status sebagai seorang kepala keluarga akan terinjak-injak harga dirinya jika sang istri melakukan kebandelan ( bandel bukan dalam arti selingkuh melainkan reaksi pembangkangan terhadap suami ). Apalagi jika penghasilan seorang istri lebih besar dari suami, jabatan istri lebih tinggi dari suami, karier istri lebih cerah dari suami ( kacian deh loe….!)
"Kenapa juga kaum adam harus risau terhadap hal tersebut….??"
Mungkin memang benar, hanya karena masalah do-it, kekuasaan seorang istri akan menjadi dominan apabila ia mapan dalam berkarier, apalagi ketika harus melawan otoritas seorang suami jika menghadapi permasalahan. Jika memang merasa benar, kenapa tidak melakukan suatu pembenaran, dan jika memang salah kenapa juga harus dipermasalahkan. Bukankah kini harus dikembalikan lagi pada pribadi masing-masing pihak, dan seberapa besar sich cinta mereka saat berikrar membentuk rumah tangga.
Bukankah seorang istri memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk ikut membangun keluarga baik dari sisi finansial maupun moriil, kenapa juga harus bergantung 100% kepada suami, dan bukankah do-it yang nantinya dihasilkan bersama-sama juga demi kepentingan anak-anak mereka nantinya.
....and ganti topik.....
Dewi rasa, feminitas dan maskulinitas terdapat di masing-masing individu baik itu seorang pria ataupun seorang perempuan. Hanya kadar hormon testosteron dan estrogen saja kan yang menjadi penentu.
Jika seorang pria yang pintar masak, pintar tata rias, berkata lemah-lembut, apakah harus kehilangan predikat sebagai seorang pria yang maskulin, dan apakah seorang anak laki-laki harus bisa bermain sepak bola...? apakah seorang anak perempuan harus menyukai boneka...? mengapa tidak boleh sebaliknya...?
Bukankah kini sudah ada sepakbola wanita, dan banyak koki pria yang handal.

Realitas keadaan sekarang mengatakan perempuan dan pria telah mampu berkecimpung di dunia yang sebelumnya tidak mereka sentuh karena dianggap porsi dari lawan jenis.
So’ apakah jika akoe sebagai seorang perempuan tidak suka memakai kebaya, hobby panjat dinding, genteng rumah dan pohon tetangga apakah tidak bisa dibilang feminim...? ( bisa donk...!! ) dan ketika pria senang bersolek, halus dalam bertutur kata layaknya seorang perempuan, lantas mesti memdapat predikat “waria” atawa lebih ekstrim lagi dipanggil ‘bencong’ (ck..ck..ck...kasar euy)
Karena sifat-sifat maskulin dan feminim pada diri pribadi orang hanya selalu dinilai dari tampilan luar perilaku yang mencerminkan kadar sifat-sifat tersebut. Dan hingga kini orang masih lebih senang menilai orang lain dari sisi luarnya aja (....iya khan...? ngaku aja dech...!!! ) Sedangkan penilaian apakah ia tergolong memiliki sifat feminim dan maskulin hanya berdasar doktrin yang telah tertanam dalam masyarakat yang telah menjadi kebiasaan sejak tempoe doeloe hingga sekarang . Bahwa anak laki-laki main bola, anak perempuan main boneka, ibu ke pasar, ayah ke kantor itu hanya sebagian kecil doktrin yang ditanamkan orang tua pada generasi penerusnya hingga sekarang.
Tapi ya kembali lagi ke lingkungan keluarga sebagai awal pembentukan pribadi seorang anak sebelum ia terjun ke masyarakat.
Sifat feminim pada seorang perempuan akan sering muncul ketika ia harus bersabar menghadapi prilaku usil lawan jenisnya, atau saat ia mendambakan seorang adik yang dapat diajaknya bermain ( atau karena ingin punya anak,ya...? ), atau saat ia menangis karena sakit hati dihianati sang kekasih, saat timbul penyesalan karena telah menyakiti hati mantan pacarnya, atau bersorak saat cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, namun sifat maskulin juga dapat muncul saat ia ingin memberontak pada ikatan otoritas yang dinilainya tidak sesuai dengan hati nurani, perjuangan untuk memperbaiki keterpurukan kaum hawa, keisengan saat ingin merasakan manisnya buah pada pohon tetangga sebelah (ups... yang ini jangan ditiru...!!!), saat muncul keinginan untuk memperbaiki genteng rumah yang bocor, saat emosi menghadapi preman di terminal yang kurang ajar, begitu pula sebaliknya pada seorang laki-laki akan lebih dominan menunjukkan sifat maskulinitasnya untuk mendapatkan penghargaan dari teman sejenis atau dihargai dan dicintai oleh lawan jenis. Akoe seorang laki-laki......!!! akoe tidak boleh cengeng.....! akoe tidak boleh lemah seperti perempuan ......!!!, namun adakalanya seorang laki-laki menunjukkan sifat feminimnya yang tersembunyi ketika ia tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi permasalahan yang semestinya ia dapat melakukan sesuatu pembenaran dan perbaikan, saat ia merasa kesepian ditinggal sang kekasih pujaan hati, saat ia tidak mendapatkan wanita yang didambakannya, atau saat terluka ketika ada sesuatu yang menyakiti perasaannya, dll. Namun sifat feminim pada seorang pria cenderung tertutup oleh ego pribadi yang menolak mengakui kadar sensitif yang dimilikinya. ( Sorry ya Bli, kalau pendapatku dianggap ngawur...! ).
And the last tergantung kita mo’ memunculkan dominasi sifat maskulin atawa feminim-nya....? (Terserah elo....!!!)

3 comments:

Anonymous said...

fiminin atau maskulin itu kan muncul saat manusia merasa dirinya tidak nyaman dengan keadaannya saat itu, sehingga sifat kodratnya ditonjolkan untuk meminta pengakuan publik (padahal Tuhan tidak perlu pengakuan).
jadi kalo ada orang dibilang kolot, atau ndeso, kuno, gak Genderistik itu hanya orang lain yang merasakan.
kita ingat kan, orang tua kita yang masuk zaman sebelum banyak infotaimen, mereka rukun tanpa bicara gender, dan bahkan mereka juga nggak ngerti apa itu gender.
tapi bagaimana generasi seperti kita ini, yang saban hari dijejali info ganti pacar, perceraian, gender dan bahasa - bahasa muluk - muluk yang sering hanya didiskusikan tapi 0 pelaksanaan. kalaupun ada pelaksanaannya itu akan bermasalah besar bagi kehidupan rumahtangga.
kita ini dibentuk dengan jiwa yang besar, kosong dan lapang.
tidak seperti Ortu kita yang berjiwa lapang, penuh dan berdogma.
kalo saya sih akan berguru pada Ortu dan mbah-mbah saya, bukan pada para pegiat genderis yang hanya bisa cuap-cuap.

salam
kabargresik.co.cc

dewiy@na said...

terimakasih buat akhmad atas komentarnya,..saya jg setuju kita harus mendengar 'kata2' para orang tua (sbg anak berbakti tentunya :)
namun jgn jga dogma2 tempoe doeloe dipaksa diterapkan di era kapitalis sekarang ini, justru krn jaman dan berbeda..sehingga pola pikir kita jg harus lebih maju dan berkembang...
harapan kita semua, semoga kita berjiwa besar menerima kritik ...lapang dada menrima saran...tinggalkan saja dogma2 yg membelenggu kebebasan jiwa... jika itu hanya membuat kita merasa 'lebih jauh' dgn Sang Penguasa

Anonymous said...

Ketika semua siswa di kelas dianggap bersalah oleh seorang bapak guru..lalu ia memutuskan hukuman yg diberikan adalah ditampar keras-keras, tanpa kecuali..eh..cewek-cewek pada merengek.."pak..ini kan cewek..masa ditampar..ihh..bapak nggak punya perasaan ya??"

ck ck ck ...muna banget..katanya mo kesetaraan gender..klo pengen dapat yg itu..harus berani dunk nanggung resiko..berani menanggung segala akibatnya..

atau??
ah payah tuh yg pertama memberi ide tentang kesetaraan gender..bikin masalah jd rumit aja..seharusnya parameter2nya ditetapkan terlebh dahulu